
Baru semalam saya selesai nonton maraton drakor A Time Called You produksi Netflix, bahkan sampai sekarang masih terngiang-ngiang OST-nya, lagu Gather My Tears yang dibawakan Seo Ji Won – yang belakangan saya tahu kisah hidupnya pilu juga.
Oke, kembali ke topik.
Saya tidak menjanjikan tulisan ini bebas spoiler tapi saya usahakan spoiler-nya seminim mungkin.
Formulanya Umum, Tapi…
Series sebanyak 12 episode ini sebenarnya menggunakan formula umum kebanyakan drama Asia yaitu persahabatan satu cwk dengan dua cwk, sahabat jadi cinta, yang tadinya tidak suka jadi suka, persaingan cinta, cinta tak terbalas, cinta yang sulit sekali didapat, pengorbanan cinta yang kebangetan, dan sebagainya dan sebagainya.
Yang membuat A Time Called You sedikit berbeda adalah kisah cinta yang diceritakan di sini ini menembus waktu, lebih ke timeloop.
Ya, sesuai judulnya, A Time Called You mengambil sedikitnya dua latar masa yang berbeda; 2023 dan 1998.
Dengan konsep yang diambil, series ini saya duga menarget penonton laki-laki yang biasanya relatif lebih mudah memahami hal-hal semacam ini.
Tapi saya rasa pula, penonton perempuan pun bisa memahami alur ceritanya dengan baik. Setidaknya salah seorang rekan kerja saya, perempuan, Gen-Z, mengatakan pada saya bahwa series ini bagus.
Karena salah satu latarnya adalah tahun 1998, beberapa properti khas 90-an pun ada di sini, bikin penonton berumur seperti saya bisa sedikit nostalgia bagaimana starter pack anak gaul di masa itu.

Tokoh Utama dalam A Time Called You
Tokoh utama yang pertama kali diperkenalkan adalah sepasang kekasih Han Jun-hee dan Koo Yeon-jun. Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh utama bertambah ada Kwon Min-ju, Nam Si-heon, dan Jung In-gyu.
Secara garis besar, ceritanya ketebak lah ya, namun saya menikmati bagaimana sutradara merangkai kepingan-kepingan puzzle yang ada di tahun 1998 maupun 2023 dan menyimpan beberapa kejutan yang membuat penontonnya ternganga bahkan mungkin bisa ikut menjerit atau nangis atau setidaknya ngomong, “Aaak, ini, kan, yang waktu itu.”
Uniknya, semakin saya menonton ini, saya makin merasa penggarapan atau elemen-elemen dalam A Time Called You mirip series fenomenal Dark, entah apakah netter merasakan hal serupa.
Karena itu saya pribadi berpendapat A Time Called You adalah versi ringan dan manis dari Dark.
Aspek Teknis dan Penggarapan
Jika kita perhatikan posternya, terlihat ada dua warna; biru dan kecoklatan. Di opening teaser-nya juga ada dua warna; biru dan pink/peach. Mohon koreksinya apabila ada yang lebih mengerti masalah warna.
Itu (dua warna) bukan sekedar gimmick saya rasa.
Sepanjang pengamatan saya, scene-scene tahun 2023 kebanyakan dominan berwarna biru (cerah maupun gelap, juga hitam), sedangkan scene-scene tahun 1998 kebanyakan dominan berwarna kecoklatan atau hijau. Scene malam di tahun 1988 juga black level-nya tidak sepekat tahun 2023.


Kebanyakan, ya, bukan berarti seluruhnya begitu.
A Time Called You digarap dengan rapi. Saking rapinya, saya lupa bahwa series ini diproduksi oleh Netflix yang dulu sempat dicela-cela kualitas produksinya.
Catatan saya mungkin umum saja bahwa rasanya cast-nya kadang kelihatan agak ketuaan.
Overall, A Time Called You bagus dan recommended meski sebagian ada adegan tipikal khas drakor yang bagi saya menyebalkan ketika terlalu banyak ditampilkan, misalnya cowok nangis. Atau ada juga sisipan agenda yang bikin saya bertanya-tanya dalam hati, “Hah? Ini beneran, nih?”
Begitu kira-kira. Selamat menonton!